Saya
tulis jejak belajar ini awal bulan November 2005. Sempat menjadi bahan diskusi
di beberapa forum, tetapi sengaja saya simpan meski ada penerbit yang
memintanya untuk diterbitkan sebagai salah satu bab dalam buku tentang
kepenulisan. Sederhana saja. Di dalamnya ada komentar terhadap beberapa buku
yang sedang laris-larisnya saat itu, tetapi berdasar sedikit ilmu yang sempat
saya pelajari, sepertinya tak cukup kuat untuk bertahan.
Hari ini, saya ingin berbagi. Bukan untuk membuktikan kebenarannya, tetapi untuk sama-sama berbenah. Ingatkanlah jika ada yang salah.
Betul sekali. Saya seorang muslim, karena itu kebiasaan dasar yang harus saya miliki agar bisa berislam dengan baik adalah membaca dan me¬nyampaikan ilmu melalui tulisan. Ayat yang pertama turun menyu¬ruh kita membaca. Bukan shalat atau berpuasa! Allah menurunkan ayat-ayat pertamanya juga dengan menggunakan kata bertutur yang menarik, dan kalau eng¬kau ingin mengajak orang kepada Islam sistematika ini harus engkau perhatikan. Allah mem¬perkenalkan diri-Nya dengan menggunakan kata “rabb”. Bukan Allah. Rabb artinya Tuhan. Kalau ditelisik lagi berkait dengan tauhid rububiyah, meyakini bahwa yang menciptakan dan merawat alam semesta se¬isinya adalah tuhan. Tuhan yang mana? Nanti dululah. Yang jelas Tuhan Yang Maha Mencip¬takan, Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Begitu sete¬rusnya sampai akhirnya Allah tunjukkan bahwa rabb yang dimaksud adalah Allah, satu-sa¬tunya yang layak menjadi al-ilah (tuhan yang disembah dan dipatuhi).
Kalau engkau punya waktu sejenak saja untuk mempelajari sistematika turunnya wahyu, akan engkau dapati pelajaran-pelajaran berharga yang luar biasa. Belum lagi kalau kita mempelajari tafsirnya, semakin banyak yang tergali dan semakin terbentang petunjuk yang bisa kita dapatkan. Begitu juga jika engkau mau meluangkan waktu sejenak untuk menyimak stilistika Al-Qur’an, bertumpuk pelajaran psikologi komunikasi yang akan engkau dapatkan.
Maaf, saya menggunakan kata bertumpuk karena kerap saya jumpai kita memperoleh banyak pelajaran melalui berbagai seminar yang digelar, tapi hanya kita tumpuk saja; di meja atau di otak kita. Bukan kita gunakan untuk menggerakkan diri kita sehingga melahirkan kekuatan dahsyat yang luar biasa.
Ah, saya ingin bincang-bincang sejenak tentang ini. Satu syaratnya, engkau percaya bahwa surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an semuanya mengajak kepada iman dan taqwa, mendekati surga dan menjauhi neraka, menggemarkan berbuat baik dan menjauhi perbuatan maksiat yang menyebabkan dosa, mempercayai adanya hari kiamat dan surga yang kekal abadi serta pengadilan yang tak seorang pun bisa lari (termasuk koruptor yang sekarang masih terlindungi, juga nggak bisa lari). Engkau percaya ini? Kalau percaya, mari kita teruskan. Kalau tidak, sampai jumpa di lain kesempatan.
Yupp, naam. Benar sekali setiap surat dalam Al-Qur’an selalu mengajak kepada iman dan amal shaleh serta mensucikan tauhid dan membersihkan diri dari syirik? Tapi periksa judul surat dalam Al-Qur’an! Berapa yang berhubungan dengan tauhid? Hanya sekitar sepuluh persen. Tepatnya? Coba kita hitung. Biar lebih mudah, pada bagian akhir tulisan ini saya akan sajikan daftar nama surat dalam Al-Qur’an.
Mari kita periksa nama surat-surat permulaan dalam Al-Qur’an. Ah, ya…. Betul sekali. Al-Faatihah –The Opening—sesuai namanya menjadi pembuka. Surat kedua Al-Baqarah, Sapi Betina, tetapi bukan tentang peternakan sapi. Struktur surat ini juga unik. Jika engkau ingin bikin tulisan persuasif, alur penuturan surat ini bisa engkau tiru. Ingat hasil penelitian tentang persepsi terhadap sifat orang, kan? Itu lho penelitian eksperimental Solomon E. Asch tentang bagaimana rangkaian kata sifat menentukan persepsi orang. Jika saya ceritakan kepadamu bahwa calon isterimu cerdas, rajin, lincah, kritis, kepala batu dan dengki, engkau akan membayangkan dia sebagai orang yang “bahagia”, humoris, dan “mudah bergaul”. Tetapi jika engkau membalik rangkaian kata itu mulai dari dengki, kepala batu dan seterusnya, kesanmu tentang dia segera berubah. Menurut Solomon E. Asch, kata yang engkau dengar pertama kali akan mengarahkan pada penilaian selanjutnya. Kata “kritis” pada rangkaian pertama mempunyai konotasi positif; pada rangkaian kedua, negatif. Pengaruh kata pertama ini, kata Jalaluddin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi (o ya, saya kutip penelitian Asch dari buku Kang Jalal ini), kemudian terkenal sebagai primacy effect. Dalam beberapa kesempatan, penelitian eksperimental Asch ini saya ulang dan hasilnya… hampir semua sama, kecuali ketika saya cobakan pada ustadz-ustadz Hidayatullah (mereka memelototi cukup lama sebelum memutuskan).
Satu lagi. Jika engkau menghadapi orang yang membantah pendapatmu, atau ingin menyampaikan gagasan kepada orang lain, mulailah dari yang positif dan menimbulkan hasrat untuk mencapainya. Bukan hal-hal negatif yang ingin kita jauhi, sebab otak kita cenderung bekerja lebih efektif pada pesan-pesan positif. Komentar “Masakanmu enak sekali hari ini. Kalau garamnya dikurangi sedikit, pasti lebih enak” insya-Allah akan segera membuat isterimu tersenyum lebar selebar-lebarnya. Tetapi tidak demikian ketika engkau mengatakan, “Lain kali kalau kasih garam jangan terlalu banyak. Pasti masakanmu akan lebih enak lagi.” Apalagi kalau engkau berkata, “Kamu itu tahu bedanya gula dengan garam nggak, sih? Bikin masakan kok terlalu asin?”
Bisa merakan bedanya ketiga kalimat tadi? Saya harap engkau dapat merasakan. Kalau tidak, cobalah. Kalau sulit, mungkin engkau belum menikah. “Oh, tidak. Saya sudah menikah,” barangkali ada yang protes begitu. Kalau benar sudah menikah, ada satu pertanyaan buatmu, “Seberapa baik engkau mengenal isterimu sehingga sulit merasakan perbedaan akibat dari ketiga kalimat yang mungkin paling sering engkau ungkapkan?”
Ketika menulis buku Indahnya Pernikahan Dini, saya mencoba menggunakan pendekatan ini. Yang namanya menikah, ya jelas ada tantangan yang harus dihadapi. Masalah pasti ada. Sama seperti kuliah, dari S-1 sampai S-3 pasti ada ujiannya. Cara kita menyampaikanlah yang akan membedakan persepsi pembaca.
Di buku Indahnya Pernikahan Dini, saya memulai dengan paparan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seputar kenapa kita harus menikah dini?; kenapa menikah dini jauh lebih baik dibanding menikah saat usia sudah di atas kepala tiga?; apa manfaat menyegerakan nikah?; serta pertanyaan sejenis. Saya paparkan dengan menghadirkan contoh, argumentasi ilmiah dan sentuhan perasaan. Baru sesudah itu pembicaraan bergeser ke arah yang “lebih berat” dan “kurang menyenangkan”. Ada bagian akhir pembahasan tentang mereka yang sukses dan yang terhempas (ohoi, lihat strukturnya! Sekali lagi positif dulu baru negatif) serta bagaimana menghadapi orangtua jika mereka menentang pernikahan kita (ini masalah yang bikin grogi juga kan buat menikah dini?). Alhasil, tulisan terasa lincah, positif, menggugah dan membangkitkan semangat. Coba kalau di balik, lain lagi ceritanya.
Baiklah, saya tidak berpanjang-panjang dengan ini. Kita bukan sedang berbicara pernikahan (maafkan saya kalau contoh yang saya berikan berbau pernikahan). Saya paparkan contoh-contoh tersebut untuk mengajak melihat kekuatan pendekatan positif. Gaya bertutur Al-Baqarah begitu. Pertama, menyebut golongan muttaqin, berlanjut dengan menyebut iman dan golongan orang-orang beruntung (muflihun) yang secara keseluruhan menunjukkan ciri orang-orang mukmin. Kedua, menyebut golongan orang-orang kafir dan munafik. Sesudah itu menginjak bagian berikutnya, mulai memasuki ayat-ayat yang berisi perintah. Sebagaimana bagian sebelumnya, bagian ini juga dimulai dengan perintah bagi orang-orang yang beriman, lalu diikuti dengan tantangan bagi orang-orang musyrik; balasan bagi orang-orang yang beriman, perumpamaan dalam Al-Qur’an dan hikmah-hikmahnya, bukti-bukti keesaan Allah, penciptaan manusia dan penguasaannya di muka bumi, lalu berlanjut dengan peringatan kepada Bani Israel. Berikutnya masih panjang, tetapi engkau bisa memeriksa langsung Al-Qur’an yang ada di tanganmu.
Coba perhatikan, misalnya, surat Al-Ikhlash. Surat ini membantah perkataan manusia bahwa Tuhan beranak dan diperanakkan. Tapi lihat, bagaimana Al-Qur’an memulai bantahannya? Pertanyaan positif. Bukan bantahan yang bersifat negasi. Pada kalimat ketiga baru Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kalimat negatif. Lengkapnya, mari kita perhatikan: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Esa//Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu//Tidaklah Dia beranak dan tidaklah Dia diperanakkan//Dan tidaklah ada seorang pun yang setara dengan Dia//”. (QS. Al-Ikhlash: 1-4).
To make the story short, ada beberapa hal yang kita pelajari. Pertama, tulisan yang islami dan kita maksudkan untuk berdakwah secara keseluruhan harus berisi hal-hal yang baik. Sedangkan cara mengkomunikasikan sangat berkait dengan pembaca sasaran (target readers). Tulisan yang islami tidak mesti bertabur dengan dalil dan kalimat-kalimat yang bisa bikin pening orang apabila belum akrab. Kita mulai dari hal-hal yang pembaca lebih mudah menerima.
Kedua, selalu pertimbangkan judul yang hidup, menggugah, romantis dan sesuai dengan konteks zamannya. Kalau mau mengajak anak-anak ABG yang biasa nongkrong di kafe-kafe mall untuk berjilbab, bikinlah judul “Suer! Gue Cantik Banget”. Bukan “Urgensi Hijab bagi Ukhti Muslimah” (awas, mereka bisa lari terbirit-birit). Rasulullah saw. bilang, “Mudahkan dan janganlah engkau mempersulit. Gembirakanlah dan jangan engkau buat mereka lari.” Ini prinsip komunikasi dan sekaligus sikap dakwah. Maka, mulailah buku “Suer! Gue Cantik Banget” dari hal-hal positif yang dekat dengan dunia mereka (Thanks God You Make Me Pretty, Are You Pretty Enough, The Real Beauty –kalau engkau setuju dengan pembagian bab ini—baru memasuki bab yang bertutur tentang kenapa mereka harus berjilbab, misalnya dengan judul bab “Beautiful Forever” atau “Everlasting Beauty”).
Kitab para ulama terdahulu banyak yang menggunakan judul indah dan romantis. Kitab Qathrunnada bukan berbicara tentang pagi yang indah maupun asal usul air. Kitab ini berbicara tentang nahwu. Tata Bahasa Arab. Padahal artinya setetes embun. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menulis buku dengan judul yang sangat indah Raudhatul Muhibbin. Taman Orang-orang Jatuh Cinta. Bukan “Rambu-rambu Islam bagi Orang yang Sedang Jatuh Cinta”. Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan ‘Ilmu-‘ilmu Agama) merupakan kitab fenomenal Imam Al-Ghazali. Judulnya hidup dan positif. Bukan Rudud ala Abathil. Bantahan terhadap Pendapat-pendapat yang Sesat. Emm… saya bukan menolak kitab yang sangat berharga ini. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa judul semacam Rudud ala Abathil biasanya sulit menjadi karya fenomenal dan legendaris (so, kalau bikin judul yang menggugah, deh. Jangan bikin pusing).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, buku Mbak Asma Nadia berjudul Jangan Jadi Muslimah Nyebelin rasanya akan lebih menggugah minat baca (dan beli) kalau menggunakan judul positif. Saudara-saudara kita yang masih pacaran, setidaknya masih menyimpan sebuah nama di hatinya dengan perasaan yang amat mendalam, tidak akan menyentuh buku “Islam Menolak Pacaran”, kecuali kalau mereka sudah ada keinginan untuk bertaubat. Sementara buku Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, rasanya hanya para murabiyyah yang akan bergegas membaca buku tersebut. Bukan mutarabi. Apalagi yang masih muter-muter. Padahal buku ini sangat bagus, dan isinya penuh gizi bagi siapa saja yang merasa dirinya wanita atau yang isterinya seorang wanita.
Apakah judul negatif tidak bisa laris? O, bisa saja. La Tahzan contohnya. Karya besar ‘Aidh Al-Qarni ini menjadi buku paling dicari di berbagai negeri. Kita juga bisa melihat karya Oleh Solihin yang berjudul Jangan Jadi Bebek. Buku ini laris manis, meski saya tidak terlalu yakin akan dapat mempertahankan posisinya sebagai buku terlaris dalam lima tahun. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin juga memungkinkan untuk laris dan bahkan laris manis banget. Kok bisa? Saya berharap bisa meluangkan waktu secara lebih khusus untuk membahas masalah ini dengan gamblang. Kali ini, saya hanya ingin menyebut satu hal saja: kredibilitas dalam “komunitas” dan efek karambol yang ditimbulkannya (emm…, tapi kalau buku Jangan Jadi Seleb karya Kang Oleh tidak selaris Jangan Jadi Bebek, sebabnya bukan semata karena judul yang negatif).
Ketiga, biasakan menggunakan pendekatan positif. Sebuah Cerpen atau bahkan novel yang baik tidak mutlak membutuhkan tokoh antagonis yang bikin eneg. Ingat penelitiannya David McClelland. Tulisan yang secara keseluruhan inspiring good ‘menggugah inspirasi yang baik”, jauh lebih bergizi bagi jiwa daripada kisah yang suddenly good. Habis mabuk-mabukan, susah dinasehati, kacau balau hidupnya, lalu secara spontan berubah jadi orang baik tanpa kita bisa mempelajari prosesnya. Kita tidak merasakan dorongan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjemput hidayah. Alih-alih berdakwah, bisa terjadi justru sebaliknya. Kisah-kisah itu secara keseluruhan atau sebagian besar inspiring bad. Menginspirasikan gagasan buruk: “belajar suka-suka, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Ibarat taubat, yang kita peroleh dari kisah-kisah semacam ini bukan dorongan untuk melakukan taubatan-nashuhah. Dan inilah yang sekarang ada di sinetron-sinetron kita: menjadi baik secara instant dan mengejek Tuhan sebagai tukang marah dan memberi hukuman yang aneh-aneh. Padahal rahmat Allah mendahului murka-Nya.
Saya sepakat sekali dengan Deddy Mizwar dalam perkara ini. Dalam wawancaranya dengan majalah Hidayatullah, November 2005, Deddy Mizwar mengatakan, film “religius” menghina Allah. Berikut saya petikkan untukmu sebagian dari penuturan sineas kita ini:
“Yang kita lihat selama ini,” kata Deddy Mizwar mengomentari maraknya sinetron yang dianggap islami, “adalah tontonan yang memperlihatkan gaya tidak islami di layar kaca. Padahal katanya agama itu diturunkan untuk membawa manusia dari kegelapan ke tempat terang benderang. Namun, kita tidak melihat pesan itu di tayangan yang katanya “religius” sekarang ini. Yang ada tayangan berantem sama jin, dan kekejaman Allah. Seolah Allah itu tidak rahman dan rahiim. Yang ada wajah Allah yang beringas.”
“Menurut saya,” kata Deddy Mizwar melanjutkan, “itu penghinaan terhadap Allah. Karena Allah memuliakan yang namanya manusia. Sampai-sampai, malaikat pun bersujud pada manusia. Tapi kita sebagai manusia terus bikin citra bahwa manusia itu makhluk yang selalu berbuat maksiat. Itu penghinaan terhadap ciptaan Allah. Na’udzubillahi min dzaalik.”
Nah.
Emmm… bagaimana jika kita menulis dengan niat yang baik? Bukankah segala sesuatu tergantung pada niatnya?
Tepat sekali. Inilah ungkapan yang paling banyak kita pakai untuk membela diri. Benar, segala sesuatu tergantung niatnya sepanjang sesuatu itu baik. Artinya, kalau kita menulis yang baik, belum tentu pahala kita dapatkan jika tulisan itu tidak kita maksudkan untuk hal-hal yang baik; hal-hal yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla sehingga terhitung sebagai ibadah. Sementara keburukan, tak akan berubah nilainya sekalipun kita maksudkan sebagai kebaikan. Itu sebabnya, kita perlu membekali diri dengan ilmu sebelum beramal. Al-‘ilmu qabla al-‘amal. Ilmu itu mendahului amal. Bukan sebaliknya.
Ini sama halnya dengan orang yang menebak-nebak maksud Al-Qur’an, menggunakan ra’yu (rasio) tanpa bekal, lalu secara kebetulan yang ia simpulkan itu bersesuaian dengan maksud Al-Qur’an. Pada yang demikian ini, tak ada pahala baginya (awas, jangan keliru. Saya bukan sedang merendahkan kemampuan akal. Ada sendiri takarannya, dan engkau bisa membaca uraian yang sangat memuaskan di buku Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam).
Tulislah karya-karya yang sedari awal menggerakkan orang pada kebaikan. Lihatlah bagaimana Al-Qur’an bertutur dan Rasulullah saw. berkisah. Lihatlah banyak kisah bertebaran dalam Al-Qur’an, dan tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla banyak menggunakan kisah untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya melainkan pasti ada kekuatan besar di dalamnya. Maka, sekaranglah saatnya engkau belajar menghimpun kekuatan, mengolahnya dan menggunakannya dengan setepat-tepatnya. Sesungguhnya, ada kekuatan luar biasa di balik jalinan kata yang dirangkai.
Rasulullah saw. bertutur bahwa sesungguhnya di antara bayan itu as-sihru. Sihir. Bayan itu untaian kata untuk mengkomunikasikan sesuatu. Penjelasan. Penuturan, dan yang semakna dengan itu. Artinya, ada kekuatan yang luar biasa pada kata-kata yang tersusun rapi, baik secara lisan maupun melalui tulisan. Ka¬lau kita bisa menggunakan dengan baik, dampaknya juga akan sangat dahsyat.
Bagaimana dengan kisah orang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang itu? Lihatlah elan vitalnya. Semangat hidupnya. Ruh dari kisah itu dari awal hingga akhir. Bukan menggambarkan tentang pembunuhan, tetapi usaha yang sungguh-sungguh dan keinginan yang kuat untuk bertaubat. Keinginan yang menyala-nyala untuk menjemput hidayah, dan untuk itu ia rela menempuh perjalanan hingga ia menemui kematiannya sebelum tiba di tempat tujuan. Dari awal hingga akhir, usaha menemukan pintu taubat yang menjiwai. Bukan kisah kriminalnya sebagaimana tayangan-tayangan menjijikkan di TV-TV kita hari ini.
Kisah tentang pelacur yang masuk surga juga demikian. Elan vital kisah ini adalah tulus kasih-sayang yang muncul secara spontan untuk menyantuni seekor anjing yang sedang kehausan. Tak ada yang bisa ia gunakan untuk menolong binatang yang air liurnya najis tersebut, kecuali sepatunya. Tak ada tali yang bisa ia gunakan untuk mengambil air dari sumur kecuali ikat pinggangnya. Tetapi ketika ada kesungguhan yang luar biasa untuk menolong, Allah ‘Azza wa Jalla mengaruniakan kepadanya ampunan dan surga. Padahal ia seorang pela¬cur, sedangkan binatang yang ia tolong adalah seekor anjing.
Apa yang bisa kita petik? Kekuatan penggerak (driving force) untuk berbuat kebaikan dari awal hingga akhir yang melahirkan usaha sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Inilah yang akan melahirkan kekuatan untuk menginspirasi dari setiap tetes tinta yang kita goreskan.
Engkau lihat, Al-Qur’an sudah bertutur kepadamu. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut, 29: 69).
Alhasil, kalau mau menulis, jangan bawa bekal pas-pasan. Mau menulis kisah yang mengajak orang pada kebenaran, ya pelajari apa kebenaran itu dan bagaimana orang bisa mencapai hidayah. Kemampuan berimajinasi adalah bekal minimal menulis fiksi. Penulis memang punya hak untuk berkhayal, tapi kebenaran tak bisa ditawar. Seperti saya bilang dalam buku Inspiring Words for Writers, “Keindahan tanpa kebenaran, ibarat makanan lezat tanpa gizi. Kebenaran tanpa keindahan ibarat obat sakit gigi. Ia hanya dicerna saat sakit; saat benar-benar membutuhkan.”
Jadi, bawalah perbekalan yang banyak sebelum menulis agar setiap tetes tintamu penuh gizi. Kalau memang harus menguras tangis, biarlah karya-karyamu membangkitkan tangis yang mulia di sisi-Nya. Bukan karena menangisi karyamu. Sungguh, sebuah karya yang benar-benar bergizi dan mengantarkan menu-menu hidayah jauh lebih berharga daripada berpuluh-puluh buku yang hanya menghasilkan peluh karena capek membaca.
Sesudah hidayah datang, ia harus melalui ujian. Perintang-perintang hidayah itu ada di dalam diri kita sendiri maupun dari bisikan-bisikan orang lain. Ini yang paling ringan. Tetapi siapa bilang yang paling ringan itu ringan pula menghadapinya? Cobalah tanya kenapa saudara-saudara kita yang pakaiannya amat mengenaskan karena sedikitnya kain, padahal ia telah tahu kemuliaan berjilbab, apa yang menghalanginya untuk segera menutup auratnya secara sempurna. Jangan kaget, penghalang terbesarnya boleh jadi dirinya sendiri. “Nanti kalau diketawain orang, bagaimana?” “Ah, saya kan belum bisa jadi orang baik, masak sudah pakai jilbab” “Sebenarnya sih sudah pingin banget pakai jilbab, tapi tanggung-jawabnya itu, lho” dan beribu-ribu pikiran lain yang menari-nari dan sekaligus menakut-nakuti.
Jadi, bagaimana? Coba deh engkau tuliskan karya yang membuat mereka memiliki penguat hati dan orang lain bisa belajar berempati. Tulislah novel misalnya, yang sedari awal berisi perjuangan seorang ayah melawan kebiasaan memarahi anak (kalau ada yang tahu resep mengubah ayah yang galak menjadi lembut tanpa amarah secara instant, beritahukan pada saya!) sampai akhirnya benar-benar mampu meredam kemarahannya. Sehari tidak marah sama sekali karena jiwa telah berubah. Bukan karena pingsan.
Tulis pula misalnya bagaimana perjuangan Si Katty yang seksi untuk sekedar berjilbab. Benar-benar berjilbab karena mentaati perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dari awal, novel ini merekam gejolak jiwa Katty untuk mulai mengenakan busana muslimah sejati. Gambarkan perjuangan Katty melawan dirinya sendiri. Atau bikinlah cerita tentang bagaimana perjuangan melawan diri sendiri agar bisa qiyamul-lail setiap hari (beritahukan padaku kalau ada yang punya resep menjadi ahli qiyamul-lail dalam sekejab agar kuubah seluruh penduduk negeri ini menjadi orang-orang yang banyak bermunajat di hadapan Allah menjelang dini hari).
Lho, kok nyinyir gitu, sih? Ah, nggak. Saya cuma teringat pada firman Allah di surat Huud ayat 7. Tentang ujian bagi orang yang beriman, Allah berkata:
“…agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Huud, 11: 7).
Berkaca pada ayat ini, rasanya kurang sesuai dengan spirit Islam kalau kita menyibukkan pembaca dengan hal-hal yang tidak berguna, kecuali ujungnya saja. Tokohnya urakan, akhlaknya tidak karu-karuan dan bahkan sampai pada tingkat yang sangat menjijikkan, tetapi di akhir cerita tiba-tiba tersadar ketika melihat perilaku seorang akhwat yang shalihah, ikhwan yang hanif atau ustadz yang sangat bersahaja. Di berbagai cerita lain saya baca, tokoh antagonis –ironisnya jadi tokoh utama—menjalani hidup yang sangat berantakan. Di akhir cerita, tiba-tiba ia berubah oleh peristiwa sederhana. Tak ada proses mental dapat dinalar oleh para pembaca. Tak ada pergulatan emosi yang bisa dirasakan.
Kisah semacam ini tidak sesuai dengan fitrah manusia! Tidak Islami.
Ouw, memang bisa saja seseorang berubah karena peristiwa-peristiwa sepele, sebagaimana seseorang bisa masuk surga karena perbuatan sepele. Tetapi sesuatu yang sepele hanya akan berarti apabila proses mental yang memadai. Kita menangkap what’s behind the fact; memahami prinsip-prinsip yang bekerja di balik fakta.
Pernah lihat Miracle? Ini film tentang Herb Brooks, pelatih team hockey Amerika ketika harus menghadapi team Soviet di Olimpiade 1980. Sedari awal, film ini menuturkan kesungguhan Brooks untuk membawa team pecundang (Amerika bukan pemain hockey yang hebat) agar mampu menaklukkan Soviet –team terbaik dunia. Tantangan –dan juga hambatan—tentu saja ada. Tetapi kisah ini memusatkan perhatian pada bagaimana Brooks berjuang dengan gigih menjadikan teamnya layak menyandang gelar juara. Sebuah rangkaian kisah yang benar-benar menggugah. Menginspirasi.
Film ini akan berbeda pengaruhnya jika lebih banyak menampilkan sepak terjang para penentangnya. Bukan upaya gigih Brooks membangun kehebatan team hockey-nya. Kita cenderung berempati dan tergugah berbuat baik jika membaca kisah seorang polisi yang berjuang melawan korupsi di kesatuannya dan pada saat yang sama harus menggulung sindikat kejahatan yang di-back up komandannya. Tetapi akan berbeda akibatnya jika kita melihat visualisasi cerita seorang penjahat tentang apa yang mendorong ia memperkosa dan bagaimana ia melakukannya. Yang terakhir ini, meski kita juga melihat bagaimana penjahat itu telah babak belur, justru mendorong inisiatif jahat. Berbagai studi menunjukkan, kejahatan justru meningkat ketika berita kriminal bertambah seru. Dan itulah yang sekarang sedang terjadi di negeri kita yang semata wayang.
Kenapa demikian?
Tanpa sadar, kita cenderung melakukan identifikasi psikis dengan tokoh utama; fiksi ataupun non-fiksi. Kita terlibat secara emosi dengan tokoh utama. Apalagi kalau penulisnya mampu membangun emosi karakter (character emotions) dengan baik. Kita bisa menangis dan tidak rela seorang penjahat yang paling busuk dieksekusi ketika membaca feature tentang perasaan keluarga, istri dan sang penjahat itu sendiri. Kita bisa berdemonstrasi menentang hukuman mati setelah terharu membaca penyesalan sang penjahat; bahwa ia melakukan perbuatan tersebut karena terpaksa dan khilaf. Kita tidak ingat bahwa keluarga korban mengalami trauma yang sulit terhapuskan.
Nah.
Masih mau ngobrol? Sabar dulu, ya.... InsyaAllah saya akan hadir dengan tulisan berikutnya.
Hari ini, saya ingin berbagi. Bukan untuk membuktikan kebenarannya, tetapi untuk sama-sama berbenah. Ingatkanlah jika ada yang salah.
Betul sekali. Saya seorang muslim, karena itu kebiasaan dasar yang harus saya miliki agar bisa berislam dengan baik adalah membaca dan me¬nyampaikan ilmu melalui tulisan. Ayat yang pertama turun menyu¬ruh kita membaca. Bukan shalat atau berpuasa! Allah menurunkan ayat-ayat pertamanya juga dengan menggunakan kata bertutur yang menarik, dan kalau eng¬kau ingin mengajak orang kepada Islam sistematika ini harus engkau perhatikan. Allah mem¬perkenalkan diri-Nya dengan menggunakan kata “rabb”. Bukan Allah. Rabb artinya Tuhan. Kalau ditelisik lagi berkait dengan tauhid rububiyah, meyakini bahwa yang menciptakan dan merawat alam semesta se¬isinya adalah tuhan. Tuhan yang mana? Nanti dululah. Yang jelas Tuhan Yang Maha Mencip¬takan, Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Begitu sete¬rusnya sampai akhirnya Allah tunjukkan bahwa rabb yang dimaksud adalah Allah, satu-sa¬tunya yang layak menjadi al-ilah (tuhan yang disembah dan dipatuhi).
Kalau engkau punya waktu sejenak saja untuk mempelajari sistematika turunnya wahyu, akan engkau dapati pelajaran-pelajaran berharga yang luar biasa. Belum lagi kalau kita mempelajari tafsirnya, semakin banyak yang tergali dan semakin terbentang petunjuk yang bisa kita dapatkan. Begitu juga jika engkau mau meluangkan waktu sejenak untuk menyimak stilistika Al-Qur’an, bertumpuk pelajaran psikologi komunikasi yang akan engkau dapatkan.
Maaf, saya menggunakan kata bertumpuk karena kerap saya jumpai kita memperoleh banyak pelajaran melalui berbagai seminar yang digelar, tapi hanya kita tumpuk saja; di meja atau di otak kita. Bukan kita gunakan untuk menggerakkan diri kita sehingga melahirkan kekuatan dahsyat yang luar biasa.
Ah, saya ingin bincang-bincang sejenak tentang ini. Satu syaratnya, engkau percaya bahwa surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an semuanya mengajak kepada iman dan taqwa, mendekati surga dan menjauhi neraka, menggemarkan berbuat baik dan menjauhi perbuatan maksiat yang menyebabkan dosa, mempercayai adanya hari kiamat dan surga yang kekal abadi serta pengadilan yang tak seorang pun bisa lari (termasuk koruptor yang sekarang masih terlindungi, juga nggak bisa lari). Engkau percaya ini? Kalau percaya, mari kita teruskan. Kalau tidak, sampai jumpa di lain kesempatan.
Yupp, naam. Benar sekali setiap surat dalam Al-Qur’an selalu mengajak kepada iman dan amal shaleh serta mensucikan tauhid dan membersihkan diri dari syirik? Tapi periksa judul surat dalam Al-Qur’an! Berapa yang berhubungan dengan tauhid? Hanya sekitar sepuluh persen. Tepatnya? Coba kita hitung. Biar lebih mudah, pada bagian akhir tulisan ini saya akan sajikan daftar nama surat dalam Al-Qur’an.
Mari kita periksa nama surat-surat permulaan dalam Al-Qur’an. Ah, ya…. Betul sekali. Al-Faatihah –The Opening—sesuai namanya menjadi pembuka. Surat kedua Al-Baqarah, Sapi Betina, tetapi bukan tentang peternakan sapi. Struktur surat ini juga unik. Jika engkau ingin bikin tulisan persuasif, alur penuturan surat ini bisa engkau tiru. Ingat hasil penelitian tentang persepsi terhadap sifat orang, kan? Itu lho penelitian eksperimental Solomon E. Asch tentang bagaimana rangkaian kata sifat menentukan persepsi orang. Jika saya ceritakan kepadamu bahwa calon isterimu cerdas, rajin, lincah, kritis, kepala batu dan dengki, engkau akan membayangkan dia sebagai orang yang “bahagia”, humoris, dan “mudah bergaul”. Tetapi jika engkau membalik rangkaian kata itu mulai dari dengki, kepala batu dan seterusnya, kesanmu tentang dia segera berubah. Menurut Solomon E. Asch, kata yang engkau dengar pertama kali akan mengarahkan pada penilaian selanjutnya. Kata “kritis” pada rangkaian pertama mempunyai konotasi positif; pada rangkaian kedua, negatif. Pengaruh kata pertama ini, kata Jalaluddin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi (o ya, saya kutip penelitian Asch dari buku Kang Jalal ini), kemudian terkenal sebagai primacy effect. Dalam beberapa kesempatan, penelitian eksperimental Asch ini saya ulang dan hasilnya… hampir semua sama, kecuali ketika saya cobakan pada ustadz-ustadz Hidayatullah (mereka memelototi cukup lama sebelum memutuskan).
Satu lagi. Jika engkau menghadapi orang yang membantah pendapatmu, atau ingin menyampaikan gagasan kepada orang lain, mulailah dari yang positif dan menimbulkan hasrat untuk mencapainya. Bukan hal-hal negatif yang ingin kita jauhi, sebab otak kita cenderung bekerja lebih efektif pada pesan-pesan positif. Komentar “Masakanmu enak sekali hari ini. Kalau garamnya dikurangi sedikit, pasti lebih enak” insya-Allah akan segera membuat isterimu tersenyum lebar selebar-lebarnya. Tetapi tidak demikian ketika engkau mengatakan, “Lain kali kalau kasih garam jangan terlalu banyak. Pasti masakanmu akan lebih enak lagi.” Apalagi kalau engkau berkata, “Kamu itu tahu bedanya gula dengan garam nggak, sih? Bikin masakan kok terlalu asin?”
Bisa merakan bedanya ketiga kalimat tadi? Saya harap engkau dapat merasakan. Kalau tidak, cobalah. Kalau sulit, mungkin engkau belum menikah. “Oh, tidak. Saya sudah menikah,” barangkali ada yang protes begitu. Kalau benar sudah menikah, ada satu pertanyaan buatmu, “Seberapa baik engkau mengenal isterimu sehingga sulit merasakan perbedaan akibat dari ketiga kalimat yang mungkin paling sering engkau ungkapkan?”
Ketika menulis buku Indahnya Pernikahan Dini, saya mencoba menggunakan pendekatan ini. Yang namanya menikah, ya jelas ada tantangan yang harus dihadapi. Masalah pasti ada. Sama seperti kuliah, dari S-1 sampai S-3 pasti ada ujiannya. Cara kita menyampaikanlah yang akan membedakan persepsi pembaca.
Di buku Indahnya Pernikahan Dini, saya memulai dengan paparan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seputar kenapa kita harus menikah dini?; kenapa menikah dini jauh lebih baik dibanding menikah saat usia sudah di atas kepala tiga?; apa manfaat menyegerakan nikah?; serta pertanyaan sejenis. Saya paparkan dengan menghadirkan contoh, argumentasi ilmiah dan sentuhan perasaan. Baru sesudah itu pembicaraan bergeser ke arah yang “lebih berat” dan “kurang menyenangkan”. Ada bagian akhir pembahasan tentang mereka yang sukses dan yang terhempas (ohoi, lihat strukturnya! Sekali lagi positif dulu baru negatif) serta bagaimana menghadapi orangtua jika mereka menentang pernikahan kita (ini masalah yang bikin grogi juga kan buat menikah dini?). Alhasil, tulisan terasa lincah, positif, menggugah dan membangkitkan semangat. Coba kalau di balik, lain lagi ceritanya.
Baiklah, saya tidak berpanjang-panjang dengan ini. Kita bukan sedang berbicara pernikahan (maafkan saya kalau contoh yang saya berikan berbau pernikahan). Saya paparkan contoh-contoh tersebut untuk mengajak melihat kekuatan pendekatan positif. Gaya bertutur Al-Baqarah begitu. Pertama, menyebut golongan muttaqin, berlanjut dengan menyebut iman dan golongan orang-orang beruntung (muflihun) yang secara keseluruhan menunjukkan ciri orang-orang mukmin. Kedua, menyebut golongan orang-orang kafir dan munafik. Sesudah itu menginjak bagian berikutnya, mulai memasuki ayat-ayat yang berisi perintah. Sebagaimana bagian sebelumnya, bagian ini juga dimulai dengan perintah bagi orang-orang yang beriman, lalu diikuti dengan tantangan bagi orang-orang musyrik; balasan bagi orang-orang yang beriman, perumpamaan dalam Al-Qur’an dan hikmah-hikmahnya, bukti-bukti keesaan Allah, penciptaan manusia dan penguasaannya di muka bumi, lalu berlanjut dengan peringatan kepada Bani Israel. Berikutnya masih panjang, tetapi engkau bisa memeriksa langsung Al-Qur’an yang ada di tanganmu.
Coba perhatikan, misalnya, surat Al-Ikhlash. Surat ini membantah perkataan manusia bahwa Tuhan beranak dan diperanakkan. Tapi lihat, bagaimana Al-Qur’an memulai bantahannya? Pertanyaan positif. Bukan bantahan yang bersifat negasi. Pada kalimat ketiga baru Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kalimat negatif. Lengkapnya, mari kita perhatikan: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Esa//Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu//Tidaklah Dia beranak dan tidaklah Dia diperanakkan//Dan tidaklah ada seorang pun yang setara dengan Dia//”. (QS. Al-Ikhlash: 1-4).
To make the story short, ada beberapa hal yang kita pelajari. Pertama, tulisan yang islami dan kita maksudkan untuk berdakwah secara keseluruhan harus berisi hal-hal yang baik. Sedangkan cara mengkomunikasikan sangat berkait dengan pembaca sasaran (target readers). Tulisan yang islami tidak mesti bertabur dengan dalil dan kalimat-kalimat yang bisa bikin pening orang apabila belum akrab. Kita mulai dari hal-hal yang pembaca lebih mudah menerima.
Kedua, selalu pertimbangkan judul yang hidup, menggugah, romantis dan sesuai dengan konteks zamannya. Kalau mau mengajak anak-anak ABG yang biasa nongkrong di kafe-kafe mall untuk berjilbab, bikinlah judul “Suer! Gue Cantik Banget”. Bukan “Urgensi Hijab bagi Ukhti Muslimah” (awas, mereka bisa lari terbirit-birit). Rasulullah saw. bilang, “Mudahkan dan janganlah engkau mempersulit. Gembirakanlah dan jangan engkau buat mereka lari.” Ini prinsip komunikasi dan sekaligus sikap dakwah. Maka, mulailah buku “Suer! Gue Cantik Banget” dari hal-hal positif yang dekat dengan dunia mereka (Thanks God You Make Me Pretty, Are You Pretty Enough, The Real Beauty –kalau engkau setuju dengan pembagian bab ini—baru memasuki bab yang bertutur tentang kenapa mereka harus berjilbab, misalnya dengan judul bab “Beautiful Forever” atau “Everlasting Beauty”).
Kitab para ulama terdahulu banyak yang menggunakan judul indah dan romantis. Kitab Qathrunnada bukan berbicara tentang pagi yang indah maupun asal usul air. Kitab ini berbicara tentang nahwu. Tata Bahasa Arab. Padahal artinya setetes embun. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menulis buku dengan judul yang sangat indah Raudhatul Muhibbin. Taman Orang-orang Jatuh Cinta. Bukan “Rambu-rambu Islam bagi Orang yang Sedang Jatuh Cinta”. Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan ‘Ilmu-‘ilmu Agama) merupakan kitab fenomenal Imam Al-Ghazali. Judulnya hidup dan positif. Bukan Rudud ala Abathil. Bantahan terhadap Pendapat-pendapat yang Sesat. Emm… saya bukan menolak kitab yang sangat berharga ini. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa judul semacam Rudud ala Abathil biasanya sulit menjadi karya fenomenal dan legendaris (so, kalau bikin judul yang menggugah, deh. Jangan bikin pusing).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, buku Mbak Asma Nadia berjudul Jangan Jadi Muslimah Nyebelin rasanya akan lebih menggugah minat baca (dan beli) kalau menggunakan judul positif. Saudara-saudara kita yang masih pacaran, setidaknya masih menyimpan sebuah nama di hatinya dengan perasaan yang amat mendalam, tidak akan menyentuh buku “Islam Menolak Pacaran”, kecuali kalau mereka sudah ada keinginan untuk bertaubat. Sementara buku Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, rasanya hanya para murabiyyah yang akan bergegas membaca buku tersebut. Bukan mutarabi. Apalagi yang masih muter-muter. Padahal buku ini sangat bagus, dan isinya penuh gizi bagi siapa saja yang merasa dirinya wanita atau yang isterinya seorang wanita.
Apakah judul negatif tidak bisa laris? O, bisa saja. La Tahzan contohnya. Karya besar ‘Aidh Al-Qarni ini menjadi buku paling dicari di berbagai negeri. Kita juga bisa melihat karya Oleh Solihin yang berjudul Jangan Jadi Bebek. Buku ini laris manis, meski saya tidak terlalu yakin akan dapat mempertahankan posisinya sebagai buku terlaris dalam lima tahun. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin juga memungkinkan untuk laris dan bahkan laris manis banget. Kok bisa? Saya berharap bisa meluangkan waktu secara lebih khusus untuk membahas masalah ini dengan gamblang. Kali ini, saya hanya ingin menyebut satu hal saja: kredibilitas dalam “komunitas” dan efek karambol yang ditimbulkannya (emm…, tapi kalau buku Jangan Jadi Seleb karya Kang Oleh tidak selaris Jangan Jadi Bebek, sebabnya bukan semata karena judul yang negatif).
Ketiga, biasakan menggunakan pendekatan positif. Sebuah Cerpen atau bahkan novel yang baik tidak mutlak membutuhkan tokoh antagonis yang bikin eneg. Ingat penelitiannya David McClelland. Tulisan yang secara keseluruhan inspiring good ‘menggugah inspirasi yang baik”, jauh lebih bergizi bagi jiwa daripada kisah yang suddenly good. Habis mabuk-mabukan, susah dinasehati, kacau balau hidupnya, lalu secara spontan berubah jadi orang baik tanpa kita bisa mempelajari prosesnya. Kita tidak merasakan dorongan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjemput hidayah. Alih-alih berdakwah, bisa terjadi justru sebaliknya. Kisah-kisah itu secara keseluruhan atau sebagian besar inspiring bad. Menginspirasikan gagasan buruk: “belajar suka-suka, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Ibarat taubat, yang kita peroleh dari kisah-kisah semacam ini bukan dorongan untuk melakukan taubatan-nashuhah. Dan inilah yang sekarang ada di sinetron-sinetron kita: menjadi baik secara instant dan mengejek Tuhan sebagai tukang marah dan memberi hukuman yang aneh-aneh. Padahal rahmat Allah mendahului murka-Nya.
Saya sepakat sekali dengan Deddy Mizwar dalam perkara ini. Dalam wawancaranya dengan majalah Hidayatullah, November 2005, Deddy Mizwar mengatakan, film “religius” menghina Allah. Berikut saya petikkan untukmu sebagian dari penuturan sineas kita ini:
“Yang kita lihat selama ini,” kata Deddy Mizwar mengomentari maraknya sinetron yang dianggap islami, “adalah tontonan yang memperlihatkan gaya tidak islami di layar kaca. Padahal katanya agama itu diturunkan untuk membawa manusia dari kegelapan ke tempat terang benderang. Namun, kita tidak melihat pesan itu di tayangan yang katanya “religius” sekarang ini. Yang ada tayangan berantem sama jin, dan kekejaman Allah. Seolah Allah itu tidak rahman dan rahiim. Yang ada wajah Allah yang beringas.”
“Menurut saya,” kata Deddy Mizwar melanjutkan, “itu penghinaan terhadap Allah. Karena Allah memuliakan yang namanya manusia. Sampai-sampai, malaikat pun bersujud pada manusia. Tapi kita sebagai manusia terus bikin citra bahwa manusia itu makhluk yang selalu berbuat maksiat. Itu penghinaan terhadap ciptaan Allah. Na’udzubillahi min dzaalik.”
Nah.
Emmm… bagaimana jika kita menulis dengan niat yang baik? Bukankah segala sesuatu tergantung pada niatnya?
Tepat sekali. Inilah ungkapan yang paling banyak kita pakai untuk membela diri. Benar, segala sesuatu tergantung niatnya sepanjang sesuatu itu baik. Artinya, kalau kita menulis yang baik, belum tentu pahala kita dapatkan jika tulisan itu tidak kita maksudkan untuk hal-hal yang baik; hal-hal yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla sehingga terhitung sebagai ibadah. Sementara keburukan, tak akan berubah nilainya sekalipun kita maksudkan sebagai kebaikan. Itu sebabnya, kita perlu membekali diri dengan ilmu sebelum beramal. Al-‘ilmu qabla al-‘amal. Ilmu itu mendahului amal. Bukan sebaliknya.
Ini sama halnya dengan orang yang menebak-nebak maksud Al-Qur’an, menggunakan ra’yu (rasio) tanpa bekal, lalu secara kebetulan yang ia simpulkan itu bersesuaian dengan maksud Al-Qur’an. Pada yang demikian ini, tak ada pahala baginya (awas, jangan keliru. Saya bukan sedang merendahkan kemampuan akal. Ada sendiri takarannya, dan engkau bisa membaca uraian yang sangat memuaskan di buku Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam).
Tulislah karya-karya yang sedari awal menggerakkan orang pada kebaikan. Lihatlah bagaimana Al-Qur’an bertutur dan Rasulullah saw. berkisah. Lihatlah banyak kisah bertebaran dalam Al-Qur’an, dan tidaklah Allah ‘Azza wa Jalla banyak menggunakan kisah untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya melainkan pasti ada kekuatan besar di dalamnya. Maka, sekaranglah saatnya engkau belajar menghimpun kekuatan, mengolahnya dan menggunakannya dengan setepat-tepatnya. Sesungguhnya, ada kekuatan luar biasa di balik jalinan kata yang dirangkai.
Rasulullah saw. bertutur bahwa sesungguhnya di antara bayan itu as-sihru. Sihir. Bayan itu untaian kata untuk mengkomunikasikan sesuatu. Penjelasan. Penuturan, dan yang semakna dengan itu. Artinya, ada kekuatan yang luar biasa pada kata-kata yang tersusun rapi, baik secara lisan maupun melalui tulisan. Ka¬lau kita bisa menggunakan dengan baik, dampaknya juga akan sangat dahsyat.
Bagaimana dengan kisah orang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang itu? Lihatlah elan vitalnya. Semangat hidupnya. Ruh dari kisah itu dari awal hingga akhir. Bukan menggambarkan tentang pembunuhan, tetapi usaha yang sungguh-sungguh dan keinginan yang kuat untuk bertaubat. Keinginan yang menyala-nyala untuk menjemput hidayah, dan untuk itu ia rela menempuh perjalanan hingga ia menemui kematiannya sebelum tiba di tempat tujuan. Dari awal hingga akhir, usaha menemukan pintu taubat yang menjiwai. Bukan kisah kriminalnya sebagaimana tayangan-tayangan menjijikkan di TV-TV kita hari ini.
Kisah tentang pelacur yang masuk surga juga demikian. Elan vital kisah ini adalah tulus kasih-sayang yang muncul secara spontan untuk menyantuni seekor anjing yang sedang kehausan. Tak ada yang bisa ia gunakan untuk menolong binatang yang air liurnya najis tersebut, kecuali sepatunya. Tak ada tali yang bisa ia gunakan untuk mengambil air dari sumur kecuali ikat pinggangnya. Tetapi ketika ada kesungguhan yang luar biasa untuk menolong, Allah ‘Azza wa Jalla mengaruniakan kepadanya ampunan dan surga. Padahal ia seorang pela¬cur, sedangkan binatang yang ia tolong adalah seekor anjing.
Apa yang bisa kita petik? Kekuatan penggerak (driving force) untuk berbuat kebaikan dari awal hingga akhir yang melahirkan usaha sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Inilah yang akan melahirkan kekuatan untuk menginspirasi dari setiap tetes tinta yang kita goreskan.
Engkau lihat, Al-Qur’an sudah bertutur kepadamu. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut, 29: 69).
Alhasil, kalau mau menulis, jangan bawa bekal pas-pasan. Mau menulis kisah yang mengajak orang pada kebenaran, ya pelajari apa kebenaran itu dan bagaimana orang bisa mencapai hidayah. Kemampuan berimajinasi adalah bekal minimal menulis fiksi. Penulis memang punya hak untuk berkhayal, tapi kebenaran tak bisa ditawar. Seperti saya bilang dalam buku Inspiring Words for Writers, “Keindahan tanpa kebenaran, ibarat makanan lezat tanpa gizi. Kebenaran tanpa keindahan ibarat obat sakit gigi. Ia hanya dicerna saat sakit; saat benar-benar membutuhkan.”
Jadi, bawalah perbekalan yang banyak sebelum menulis agar setiap tetes tintamu penuh gizi. Kalau memang harus menguras tangis, biarlah karya-karyamu membangkitkan tangis yang mulia di sisi-Nya. Bukan karena menangisi karyamu. Sungguh, sebuah karya yang benar-benar bergizi dan mengantarkan menu-menu hidayah jauh lebih berharga daripada berpuluh-puluh buku yang hanya menghasilkan peluh karena capek membaca.
Sesudah hidayah datang, ia harus melalui ujian. Perintang-perintang hidayah itu ada di dalam diri kita sendiri maupun dari bisikan-bisikan orang lain. Ini yang paling ringan. Tetapi siapa bilang yang paling ringan itu ringan pula menghadapinya? Cobalah tanya kenapa saudara-saudara kita yang pakaiannya amat mengenaskan karena sedikitnya kain, padahal ia telah tahu kemuliaan berjilbab, apa yang menghalanginya untuk segera menutup auratnya secara sempurna. Jangan kaget, penghalang terbesarnya boleh jadi dirinya sendiri. “Nanti kalau diketawain orang, bagaimana?” “Ah, saya kan belum bisa jadi orang baik, masak sudah pakai jilbab” “Sebenarnya sih sudah pingin banget pakai jilbab, tapi tanggung-jawabnya itu, lho” dan beribu-ribu pikiran lain yang menari-nari dan sekaligus menakut-nakuti.
Jadi, bagaimana? Coba deh engkau tuliskan karya yang membuat mereka memiliki penguat hati dan orang lain bisa belajar berempati. Tulislah novel misalnya, yang sedari awal berisi perjuangan seorang ayah melawan kebiasaan memarahi anak (kalau ada yang tahu resep mengubah ayah yang galak menjadi lembut tanpa amarah secara instant, beritahukan pada saya!) sampai akhirnya benar-benar mampu meredam kemarahannya. Sehari tidak marah sama sekali karena jiwa telah berubah. Bukan karena pingsan.
Tulis pula misalnya bagaimana perjuangan Si Katty yang seksi untuk sekedar berjilbab. Benar-benar berjilbab karena mentaati perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dari awal, novel ini merekam gejolak jiwa Katty untuk mulai mengenakan busana muslimah sejati. Gambarkan perjuangan Katty melawan dirinya sendiri. Atau bikinlah cerita tentang bagaimana perjuangan melawan diri sendiri agar bisa qiyamul-lail setiap hari (beritahukan padaku kalau ada yang punya resep menjadi ahli qiyamul-lail dalam sekejab agar kuubah seluruh penduduk negeri ini menjadi orang-orang yang banyak bermunajat di hadapan Allah menjelang dini hari).
Lho, kok nyinyir gitu, sih? Ah, nggak. Saya cuma teringat pada firman Allah di surat Huud ayat 7. Tentang ujian bagi orang yang beriman, Allah berkata:
“…agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Huud, 11: 7).
Berkaca pada ayat ini, rasanya kurang sesuai dengan spirit Islam kalau kita menyibukkan pembaca dengan hal-hal yang tidak berguna, kecuali ujungnya saja. Tokohnya urakan, akhlaknya tidak karu-karuan dan bahkan sampai pada tingkat yang sangat menjijikkan, tetapi di akhir cerita tiba-tiba tersadar ketika melihat perilaku seorang akhwat yang shalihah, ikhwan yang hanif atau ustadz yang sangat bersahaja. Di berbagai cerita lain saya baca, tokoh antagonis –ironisnya jadi tokoh utama—menjalani hidup yang sangat berantakan. Di akhir cerita, tiba-tiba ia berubah oleh peristiwa sederhana. Tak ada proses mental dapat dinalar oleh para pembaca. Tak ada pergulatan emosi yang bisa dirasakan.
Kisah semacam ini tidak sesuai dengan fitrah manusia! Tidak Islami.
Ouw, memang bisa saja seseorang berubah karena peristiwa-peristiwa sepele, sebagaimana seseorang bisa masuk surga karena perbuatan sepele. Tetapi sesuatu yang sepele hanya akan berarti apabila proses mental yang memadai. Kita menangkap what’s behind the fact; memahami prinsip-prinsip yang bekerja di balik fakta.
Pernah lihat Miracle? Ini film tentang Herb Brooks, pelatih team hockey Amerika ketika harus menghadapi team Soviet di Olimpiade 1980. Sedari awal, film ini menuturkan kesungguhan Brooks untuk membawa team pecundang (Amerika bukan pemain hockey yang hebat) agar mampu menaklukkan Soviet –team terbaik dunia. Tantangan –dan juga hambatan—tentu saja ada. Tetapi kisah ini memusatkan perhatian pada bagaimana Brooks berjuang dengan gigih menjadikan teamnya layak menyandang gelar juara. Sebuah rangkaian kisah yang benar-benar menggugah. Menginspirasi.
Film ini akan berbeda pengaruhnya jika lebih banyak menampilkan sepak terjang para penentangnya. Bukan upaya gigih Brooks membangun kehebatan team hockey-nya. Kita cenderung berempati dan tergugah berbuat baik jika membaca kisah seorang polisi yang berjuang melawan korupsi di kesatuannya dan pada saat yang sama harus menggulung sindikat kejahatan yang di-back up komandannya. Tetapi akan berbeda akibatnya jika kita melihat visualisasi cerita seorang penjahat tentang apa yang mendorong ia memperkosa dan bagaimana ia melakukannya. Yang terakhir ini, meski kita juga melihat bagaimana penjahat itu telah babak belur, justru mendorong inisiatif jahat. Berbagai studi menunjukkan, kejahatan justru meningkat ketika berita kriminal bertambah seru. Dan itulah yang sekarang sedang terjadi di negeri kita yang semata wayang.
Kenapa demikian?
Tanpa sadar, kita cenderung melakukan identifikasi psikis dengan tokoh utama; fiksi ataupun non-fiksi. Kita terlibat secara emosi dengan tokoh utama. Apalagi kalau penulisnya mampu membangun emosi karakter (character emotions) dengan baik. Kita bisa menangis dan tidak rela seorang penjahat yang paling busuk dieksekusi ketika membaca feature tentang perasaan keluarga, istri dan sang penjahat itu sendiri. Kita bisa berdemonstrasi menentang hukuman mati setelah terharu membaca penyesalan sang penjahat; bahwa ia melakukan perbuatan tersebut karena terpaksa dan khilaf. Kita tidak ingat bahwa keluarga korban mengalami trauma yang sulit terhapuskan.
Nah.
Masih mau ngobrol? Sabar dulu, ya.... InsyaAllah saya akan hadir dengan tulisan berikutnya.
Oleh Fauzil Adhim
No comments:
Post a Comment