Suatu hari seorang pemuda memutuskan
untuk meninggalkan kampung halamannya. Gempa bumi telah merenggut nyawa semua
keluarganya. Rumahnya hancur, rata dengan tanah.
“Aku kini tidak memiliki apa-apa
lagi,” katanya di dalam hati.
Setelah berjalan cukup jauh, ia
menghentikan langkahnya di tepi sebuah danau karena kakinya serasa tidak bisa
diajak untuk mengayun lagi. Di situ ia melamun. Pandangannya kosong. Tanpa
disadari ada seorang kakek yang telah lama memperhatikannya.
Orang tua itu datang dan kemudian
menegurnya, “Dari mana engkau wahai anak muda? Mau ke mana? Mengapa tatapanmu
kosong?”
Setelah pemuda itu bercerita panjang
lebar, ia mengakhirinya dengan mengatakan, “Aku sudah tidak punya apa-apa
lagi.”
Mendengar pernyataan pemuda itu,
kemudian Sang Kakek pun berpura-pura kehausan. Ia meminta tolong kepada pemuda
tersebut untuk mengambilkan sepincuk air danau untuk diminum.
Dengan senang hati, pemuda itu mengambil daun pisang lalu mengambil air jernih untuk Sang Kakek.
Setelah minum, Kakek itu berkata, “Apakah saat ini engkau masih merasa tidak punya apa-apa, wahai anak muda? Sadarlah, dengan tanganmu yang sehat, badanmu yang kuat, umurmu yang masih muda, kamu masih memiliki segalanya. Buktinya, dengan segala keterbatasan, engkau masih bisa membantuku mengambilkan air minum yang sejuk dan jernih. Tentunya engkau pasti bisa menolong diri sendiri.”
Dengan senang hati, pemuda itu mengambil daun pisang lalu mengambil air jernih untuk Sang Kakek.
Setelah minum, Kakek itu berkata, “Apakah saat ini engkau masih merasa tidak punya apa-apa, wahai anak muda? Sadarlah, dengan tanganmu yang sehat, badanmu yang kuat, umurmu yang masih muda, kamu masih memiliki segalanya. Buktinya, dengan segala keterbatasan, engkau masih bisa membantuku mengambilkan air minum yang sejuk dan jernih. Tentunya engkau pasti bisa menolong diri sendiri.”
Kita Semua Berpotensi Kaya
Banyak orang yang merasa tidak
memiliki apa-apa setelah hartanya ludes dilalap si jago merah (terbakar) atau
hilang dibobol pencuri, atau musibah lainnya. Padahal ia masih memiliki tubuh
yang sehat, akal yang cerdas, dan teman-teman yang menjadi koneksinya.
Lalu mengapa ia berputus asa dan
ingkar terhadap rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala? Inilah yang disebut fakir
kuadrat (ganda). Sudah miskin finansial, miskin mental pula.
Kemiskinan seperti itu sulit
ditolong, karena mentalnya terlanjur rusak. Mereka sudah terlanjur tidak
percaya pada potensi yang dimilikinya. Mereka sudah merasa kalah sebelum
berusaha. Mereka terlanjur under-estimate, menilai rendah terhadap dirinya
sendiri.
Selain menyerah kepada keadaan,
mereka rela direndahkan oleh orang lain. “Kami memang ditakdirkan miskin,”
katanya di dalam batin. Mereka akhirnya tak segan-segan meminta-minta kepada
orang lain.
Tetapi apapun bentuk kemiskinan dan kefakirannya, kita disuruh agar terhindar darinya melalui doa yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW):
Tetapi apapun bentuk kemiskinan dan kefakirannya, kita disuruh agar terhindar darinya melalui doa yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW):
اَللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ
الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ اَللَّهُمَّ إِنِّىْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ عَذَابِ الْقَبْرِ
لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari kekufuran dan kefakiran; Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab
kubur. Tiada Tuhan kecuali Engkau. (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam doa di atas kita disuruh
memelihara diri dari kefakiran sekaligus dari kekafiran. Mengapa? Karena boleh
jadi ada hubungan erat antara keduanya, yakni kefakiran bisa menjerumuskan
seseorang kepada kekafiran.
Meskipun ungkapan itu tidak ada dasarnya dari ucapan Rasulullah SAW, karena dinilai sebagai Hadits yang sangan dhaif, tetapi banyak juga kasus yang cocok dengan inti pernyataannya, yakni murtadnya seseorang lantaran kemiskinan yang dialaminya.
Meskipun ungkapan itu tidak ada dasarnya dari ucapan Rasulullah SAW, karena dinilai sebagai Hadits yang sangan dhaif, tetapi banyak juga kasus yang cocok dengan inti pernyataannya, yakni murtadnya seseorang lantaran kemiskinan yang dialaminya.
Namun hal itu tidak bisa dipukul
rata, karena ada juga orang yang berasal dari keluarga yang miskin dan
dibesarkan di tengah kondisi yang serba kekurangan, akan tetapi tidak
terjerumus pada kekafiran. Ini karena ia tidak merasa minder dan tetap yakin
dengan cita-citanya yang tinggi. Pantang baginya untuk menyerah dan berputus
asa. Ia sangat yakin bahwa nasibnya, dengan izin Allah Ta’ala, ditentukan oleh
kemauan kuatnya untuk berusaha sebagaimana firman-Nya,Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri.
(Ar-Ra’du [13]: 11)
Dengan keyakinan itu ia pun berjuang
mengubah nasibnya. Saat sekolah, ia bersungguh-sungguh belajar hingga nilainya
di atas rata-rata. Ia juga mendapatkan beasiswa untuk sekolah lanjutannya
sampai sarjana, lalu mendapat pekerjaan yang diinginkannya, hingga iapun
menjadi kaya.
Diawali Kaya Mental
Ternyata, untuk menjadi kaya secara
finansial harus dimulai dengan kaya mental. Banyak orang yang gagal menjadi
kaya karena mentalnya miskin, salah satunya dengan memandang kekayaan secara
negatif.
Misalnya, orang yang berkeyakinan bahwa orang kaya itu biasanya berbuat tidak jujur, korupsi, dan sebagainya. Akibatnya, ia trauma untuk menjadi orang kaya. Atau, orang kaya itu pelit, maka dia menjadi trauma untuk menjadi kaya.
Misalnya, orang yang berkeyakinan bahwa orang kaya itu biasanya berbuat tidak jujur, korupsi, dan sebagainya. Akibatnya, ia trauma untuk menjadi orang kaya. Atau, orang kaya itu pelit, maka dia menjadi trauma untuk menjadi kaya.
Penutupan mental (mental block)
seperti itu harus dihapus terlebih dahulu. Memang banyak orang kaya yang tidak
jujur. Tidak sedikit pula orang kaya yang pelit. Akan tetapi orang yang kaya
karena kejujuran dan kesungguhannya juga banyak. Orang kaya yang dermawan juga
tidak sedikit. Kepada merekalah kita perlu belajar.
Pandangan positif seperti itu justru
membuat kita termotivasi untuk bersedekah, berinfak, dan berzakat. Dengan uang,
kita bisa menjalankan ibadah haji. Dengan uang, kita bisa memuliakan diri sendiri
dan orang lain. Rasulullah SAW bersabda, ”Tangan di atas lebih baik dari tangan
di bawah,” (Riwayat Bukhari dan Muslim)”
Bila sudah memiliki pandangan positif terhadap kekayaan, maka silahkan menjadi kaya. Tapi sebaliknya, jika masih memandang negatif kekayaan, jangan harap menjadi kaya. Karena kaki akan terasa berat untuk melangkah ke tempat kerja.
Bila sudah memiliki pandangan positif terhadap kekayaan, maka silahkan menjadi kaya. Tapi sebaliknya, jika masih memandang negatif kekayaan, jangan harap menjadi kaya. Karena kaki akan terasa berat untuk melangkah ke tempat kerja.
Kalaupun bisa bekerja, maka biasanya
hanya asal kerja saja, karena rendah motivasi. Dengan sendirinya, kemiskinan
mental ini akan menjelma menjadi miskin finansial. Jadi, sesungguhnya kefakiran
dan kemiskinan itu bermula dari mental miskin. Sebaliknya, kaya itu berasal
dari mental kaya.
Lihat saja contoh nyata di depan
mata kita. Allah Ta’ala telah mengaruniakan kekayaan alam yang melimpah kepada
Indonesia. Akan tetapi karena para pemimpinnya dan sebagian besar penduduknya
bermental miskin, jadilah negeri yang kaya raya ini dihuni oleh orang-orang
yang miskin.
Untuk mengubah bangsa ini menjadi
kaya dan sejahtera, jalan satu-satunya adalah mengubah mental mereka. Mereka
akan tetap miskin sekalipun mereka diguyur dana bantuan sebanyak-banyaknya.
Mereka akan tetap lapar sekalipun didrop berton-ton raskin (beras miskin).
Bukan begitu cara memberantas
kemiskinan. Kecuali jika ditujukan untuk sekadar membantu keadaan darurat.
Penting Bagi Orang Kaya
Mental kaya juga sangat penting
dimiliki orang-orang yang sudah kaya secara finansial, karena banyak orang kaya
yang kemudian jatuh miskin karena mentalnya tetap miskin. Seperti apa orang
yang bermental kaya itu?
Orang yang bermental kaya, ketika bertambah kekayaannya, tidak akan menjadi malas. Ia justru bekerja lebih keras, sebab dengan bertambahnya kekayaan, bertambah banyak sedekah dan zakatnya, bertambah banyak pula orang-orang yang merasakan manfaatnya.
Orang yang bermental kaya, ketika bertambah kekayaannya, tidak akan menjadi malas. Ia justru bekerja lebih keras, sebab dengan bertambahnya kekayaan, bertambah banyak sedekah dan zakatnya, bertambah banyak pula orang-orang yang merasakan manfaatnya.
Orang yang bermental kaya akan
selalu tawadhu’. Ia sadar bahwa kekayaan itu hanyalah amanah dari Allah Ta’ala
untuk didistribusikan lagi kepada orang lain yang lebih membutuhkannya. Ia pun
tidak pernah takut miskin. Sebab ia yakin kekayaan Allah Ta’ala akan terus dilimpahkan
kepadanya.
Orang yang bermental kaya, dengan
bertambahnya kekayaan, akan bertambah pula tingkat disiplinnya. Ia membagi
hasil kerjanya, sebagian untuk keluarganya, sebagian untuk masyarakatnya, dan
sebagian lagi untuk agamanya. Inilah orang kaya yang sesungguhnya seperti sabda
Rasulullah SAW, ”Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, akan tetapi
sesungguhnya kekayaan itu adalah dengan kaya hati,” (Riwayat Abu Ya’la).
Wallahu a’lam bish-shawab.***SUARA HIDAYATULLAH MEI 2011
No comments:
Post a Comment