Sunday, June 1, 2014

Opini Nasional : Menuntaskan Transisi Demokrasi

Pemilihan umum 2014 harus menjadi tonggak
sejarah penting tuntasnya transisi menuju
demokrasi yang kita mulai sejak 1998. Karena
itu, pemilihan presiden yang akan segera
berlangsung bukan saja merupakan momentum
politik biasa –dalam konteks siklus demokrasi–
melainkan momentum sejarah untuk Indonesia
naik kelas menjadi negara demokrasi yang lebih
stabil dan fundamental.
Hasil pemilu legislatif menunjukkan fenomena
yang mengejutkan bagi sebagian kalangan. Riuh
rendah hasil survei menjelang pelaksanaan
kampanye pileg memang sempat memberi kesan
bahwa perlombaan sudah berakhir bahkan
sebelum pemilu dimulai. Elektabilitas partai dan
figur seolah sudah dipatok oleh jawaban
responden survei. Belum lagi elemen baru yang
makin ikut berperan meramaikan ranah politik:
media sosial. Seolah-olah pemilihan umum
sudah usai dan presiden sudah terpilih. Ternyata
belum. Hasil hitung cepat (quick count) berbagai
lembaga menunjukkan pembagian suara yang
relatif merata, datar (flat) dan terfragmentasi.
Hitungan ini dikonfirmasi oleh hasil
penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Kita menyaksikan bahkan pemenang
pemilu legislatif belum bisa melenggang
mencalonkan kandidat presidennya sendiri. Hal-
hal yang selama ini taken for granted sebagai
rumus kemenangan, ternyata tidak terjadi.
Misalnya efek figur terhadap partai, atau
pimpinan partai yang juga pemilik media
sehingga lebih mudah melakukan “serangan
udara”, pencitraan lewat orkestrasi pemberitaan
di media, dan belanja iklan yang fantastis,
ternyata tidak otomatis berbuah perolehan suara
yang luar biasa pada saat pemungutan suara.
Bisa dibilang tidak ada hal luar biasa pada
Pemilu 2014 ini. Tidak ada kemenangan mudah
dalam pertandingan ini. Pada 2004, kita masih
melihat ke-luarbiasaan, Partai Demokrat yang
meraih 7% berhasil mengegolkan Susilo Bambang
Yudhoyono. Pada 2009, giliran figur Yudhoyono
yang mengerek perolehan suara Demokrat. Pada
1999, Golkar yang dihujat oleh gerakan
Reformasi ternyata masih survive, bahkan
meraih suara nomor dua tepat di bawah PDI
Perjuangan yang dianggap sebagai simbol
perlawanan terhadap Orde Baru, bahkan Golkar
kemudian meraih suara terbanyak pada Pemilu
2004. Ha l - h a l luar biasa tidak terjadi di
Pemilu Legislatif 2014. Tidak ada partai yang
meraih suara sangat dominan, tidak ada figur
yang fenomenal hingga mampu mengerek
perolehan suara partainya. Apa yang terjadi?
Ekosistem Politik yang Lebih Stabil
Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan ekosistem
politik yang lebih stabil dan publik pemilih yang
tidak “kaget-kagetan” dengan segala manuver
berbagai partai politik. Publikasi hasil survei
tidak mampu menghasilkan “bandwagon
effect” (efek menarik suara) karena pemilih
sudah mampu membedakan antara pemilu
legislatif dan pemilihan presiden. Bisa dibilang,
ekosistem politik kita sudah mampu melakukan
“containment” (kemampuan membendung
ledakan pengaruh) dan mendistribusi guncangan
ledakan itu merata ke seluruh sendi-sendi
ekosistem tersebut.
Itu yang tampak dari publik yang tidak kagetan
dan mampu melakukan penyaringan informasi di
tengah bombardir iklan dan berita. Efek figur
yang populer, pencitraan media, belanja iklan,
semua itu menjadi faktor yang kontribusinya
proporsional saja dari sekian banyak faktor yang
dibutuhkan dalam memenangkan pemilu.
Memiliki satu atau dua dari sejumlah faktor itu
tidak serta-merta menghasilkan kemenangan
yang mudah. Dari sini kita belajar bahwa mesin
partai, kader, figur, belanja iklan, dan kekuatan
finansial, serta faktor-faktor lain adalah bahan
mentah yang perlu diracik oleh seorang koki
andal untuk membuahkan hasil yang optimal.
Kita menyaksikan masyarakat sipil semakin
independen dan berdaya. Tidak ada lagi “politik
grosiran”, di mana dukungan diraih dengan
hanya memengaruhi pemimpinpemimpin
kelompok sosial. Individu semakin menunjukkan
jati dirinya. Mereka ingin berpartisipasi tetapi
juga tidak ingin pesta demokrasi ini dibajak oleh
oligarki elite. Itu yang bisa kita baca dari
maraknya partisipasi masyarakat kelas
menengah dalam ajakan untuk tidak golput,
sambil tetap “dengan galak” meminta
pertanggungjawaban dan akuntabilitas dari
partai politik dan calon anggota legislatif. Inilah
fenomena masyarakat dalam gelombang ketiga
sejarah Indonesia.
Setelah sebelumnya dalam gelombang pertama,
kita menjadi Indonesia dengan puncaknya pada
Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan gelombang
kedua kita menjadi negara-bangsa modern yang
ditandai dengan Reformasi 1998 dan transisi
demokrasi, maka pada 2014 ini kita memasuki
gelombang ketiga dengan agenda utama
memantapkan budaya demokrasi.
Memantapkan Budaya Demokrasi
Reformasi 1998 dapat disimpulkan sebagai
sintesis dari dialektika antara tesis Orde Lama
yang dilawan oleh antitesis Orde Baru.
Perdebatan dalam relasi antara negara dan
agama, polemik kebebasan vs kesejahteraan dan
integrasi nasional vs otonomi daerah, telah
mengerucut pada kesimpulankesimpulan yang
kita dapat selama transisi dari 1998 hingga
Pemilu 2014 ini. Dalam perspektif sejarah,
Pemilu 2014 ini merupakan tonggak di mana kita
menjalankan satu set penuh prosedur demokrasi:
pemilihan umum langsung, dan presiden yang
berkuasa secara maksimal dalam kerangka
waktu konstitusional (dua periode) tanpa
ancaman tindakan nondemokratis, dan–mudah-
mudahan– serah terima jabatan presiden yang
berlangsung secara damai dengan transisi
pemerintahan yang mulus.
Demokrasi prosedural baru dapat memastikan
kepatuhan terhadap proses dengan harapan
prosedur yang baik akan membuahkan hasil yang
baik pula. Prosedur demokrasi baru bicara pada
basis legitimasi. Kini saatnya kita melangkah
pada substansi demokrasi, yaitu berbicara
kemanfaatan sebuah proses dan sistem
demokrasi bagi manusia. Demokrasi sebagai
budaya artinya nilai-nilai demokratis dijadikan
rujukan dalam kita bertindak dan bertingkah
laku. Demokrasi bukan sekadar sistem yang
mekanistik, melainkan juga menjadi cara
menyelesaikan masalah, alat untuk menavigasi
kehidupan, yang kita anggap tepat dan
karenanya perlu dipertahankan.
Memantapkan budaya demokrasi berarti
menggali lebih dalam substansi nilai-nilai sejati
demokrasi sambil tetap menjaga sikap terbuka
untuk mengkritik dan memperbaikinya. Tidak ada
sistem yang sempurna, yang ada adalah sistem
yang dirasa tepat untuk menyelesaikan masalah
dalam jangka waktu tertentu. Revisi dan koreksi
terhadap praktek demokrasi akan semakin
memantapkannya. Semoga Pemilu 2014 ini
benar-benar merupakan tonggak dituntaskannya
transisi demokrasi yang sudah berjalan 16 tahun.
Pemilihan presiden harus menjadi perdebatan
gagasan tentang bagaimana kita membangun
demokrasi yang mampu menghasilkan faedah
bagi rakyat, bukan sekadar pesta pencitraan dan
kontes figur penghibur yang menyenangkan tapi
melenakan rakyat dari masalah sebenarnya.
Semoga kita dapat melangkah ke masa depan
dengan demokrasi yang lebih mantap, lebih
mampu menghasilkan keadilan dan
kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.


ANIS MATTA
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

Senin 02 Juni 2014


Sumber: m.koran-sindo.com/node/392476

No comments: