Merahnya mentari
belum terlihat. Namun hawa sejuk bumi telah lama menyapa hangat. Sekitar
pertengahan tahun 2013 lalu, seusai sholat shubuh saya berangkat ke kota Malang bersama seorang teman yang
sholih. Saat mau pulang saya diajak mampir kerumah kakaknya di daerah Pesantren
tua yang sangat terkenal di Jawa timur, bahkan Indonesia, Pondok Pesantren
Lirboyo. Disana suasana yang sejuk begitu terasa. Setelah sampai di rumah
kakaknya, nampaknya beliau paham bahwa saya suka Tebu. Ya, disana ada pohon
tebu yang subur, dan banyak. Lalu dibawalah saya mendekati pohon tebu. Waktu
itu sedang teriknya panas tengah hari, sehingga ingin rasanya untuk menikmati
tebu itu.
“Alhamdulillah,
Segar” tak terasa sudah habis hampir satu batang. Kenyang. Melihat potongan
pucuk tebu yang saya nikmati tadi tergeletak diam, muncullah ide untuk
membawanya pulang ke Surabaya, untuk di tanam kembali. Ternyata tuan rumah
mempersilahkan, “sekalian aja nebang lagi, jadi nanti sebagian ditanam dan
sebagian bisa dinikmati saat tiba di Surabaya” begitu kurang lebih himbaun tuan
rumah penuh senyuman. Alhamdulillah, rezeki nomplok.
Setelah sampai
di Surabaya, gak pake lama tebu yang saya bawa segera saya tanam. Sekitar 4
sampai 6 tempat tebu telah tertanam di belakang tempat saya tinggal. Lalu, saya
biarkan hingga iya tumbuh dan berkembang. Semoga saja subur dan bermanfaat.
Setelah kurang
lebih 3 bulan, tebu-tebu itu mulai kelihatan perkembangannya. Ada yang sukses
subur, ada yang setengah subur, ada yang setengah mati, bahkan ada yang mati. Hmm.
Ada apa ini?
mengapa bisa begitu?
Setelah saya
amati, ternyata tebu yang subur dan berkembang biak menjadi beberapa batang itu
berada pada tanah yang sering teraliri air dari tempat cuci piring, jadi tanah
disitu selalu basah, dingin dan segar. Sedangkan di tempat yang lainnya agak
jauh dari air, sehingga hidupnya pun merana atau galau menurut bahasa sebagian manusia. Tanahnya lebih sering kering
daripada basahnya. Sehingga kurang baik untuk proses pertumbuhan si tebu. Maka pantaslah jika ia hidup setengah mati. Hampir
mati. Bahkan ada yang sudah lebih parah lagi, almarhum. Selain jarang kena air,
memang tanahnya disitu semi pasir. Jadi saat kena air, basahnya tidak bertahan
lama. ia cepat kering dan panas. Sehingga pohon tebu tak sanggup bertahan hidup.
Hmm.. Apa
manfaat cerita ini saya ungkap kepada orang-orang yang saya cintai seperti
Anda?
Pikirkan saja
sendiri. (Ups! Keceplosan, Afwan.)
Begini, belajar
dari pengalaman sang tebu, sebagai manusia saya akan memilih tempat yang bisa
membuat saya lebih hidup, bukan sekedar hidup. Semisal tebu tadi, adalah harus
memilih tanah yang terdapat banyak air
dan nyaman untuk hidup. Supaya hidup subur (tanpa eyang).
Sebagai manusia,
yang Allah telah mengaruniakan akal , saya harus sungguh-sungguh mengkondisikan
hidup diantara lingkungan yang memang layak untuk mengembangkan potensi dan mendukung
cita-cita saya. Dengan begitu saya akan lebih mudah menggapai cita-cita.
Laksana tebu yang segar itu tersebab tanah yang subur dan air yang ia butuhkan
pun sangat mendukung. Sehingga potensi untuk hidup dan berkembang menjadi
optimal. Beranak pinak. Regenerasinya juga semakin mantap. Itu tebu, bagaimana
dengan kita?
Kawan, Jangan
salah memilih pergaulan. Baik teman, lingkungan, ataupun komunitas. Berfikirlah sejernih
mungkin, lalu dengan kebeningan hati pilihlah pergaulan yang membuatmu semakin
dekat dengan Allah, penuh cinta.
Pergaulan lah yang amat kuat mempengaruhi
hidup seseorang. Memang tidak semua orang mudah terpengaruh, namun hal inilah
yang umum terjadi. Banyak orang baik menjadi kurang baik dikarenakan lingkungan
pergaulannya. Sehingga salah memilih pergaulan, laksana tebu yang memasuki
tanah gersang. Cepet mati. Banyak temen-temen saya yang seperti ini. Dan soal
ini gak perlu diceritain juga kan, takut ntar dia baca lalu tersinggung. Hehe.
Yang penting kita doakan, semoga semuanya menjadi pelajaran dan berhikmah. Oh
ya, Atau jangan-jangan dulu saya juga sama, menjadi korban pergaulan.
Baarangkali seperti itu, (tapi itu dulu, sekarang semoga tidak. Doakan J ). Yang jelas,
hati-hati dengan teman bergaul. WASPADALAH!
Sangat beda jika
kita bisa memilih lingkungan yang tepat, lingkungan yang baik. Bisa saling
mengingatkan, saling menolong, saling berbagi, dan lain-lain. Termasuk kita
menjadi terdorong semakin baik dan enggan bermaksiat adalah bukti baiknya suatu
komunitas. Maka pilihlah komunitas seperti itu, yang membawa perubahan kearah
yang lebih baik. Mencari komunitas yang baik, emang ada? Banyak kok, mereka
dengan ikhlas menggandeng kita, membimbing bahkan mendengar curhatan kita,
sehingga potensi semakin tergali. Ide dan kreatifitas menjadi tak mati. Dengan
usaha yang gigih dan atas ijin Allah hidup seperti ini semakin mudah dan cepat
sukses. Segala cita-cita mudah tercapai. Begitu indah hidup ini bersama
orang-orang sholih. “wong kang sholeh” senandung Opick dalam syairnya Tombo
ati, “kumpulono”. Terbukti, berkumpul dengan orang sholih yang ikhlas berjuang
adalah kemerdekaan hidup, penuh kebahagiaan. Bersama orang seperti mereka hidup
semakin tenang. Saat kita lengah, dengan penuh cinta ia akan ingatkan kita.
“jika kamu ingin
menilai seseorang” begitu Sang Nabi bersabda, “maka lihatlah teman bergaulnya”.
Semoga Allah
selalu membimbing kita menjadi orang yang selalu jernih dalam berfikir dan
memilih. Termasuk memikirkan pilihan terbaik terhadap komunitas dan pergaulan
hidup (juga termasuk memilih si dia, teman hidup. Uhuk!). Melalui tebu, Allah telah mengajari kita untuk berfikir dan
menggunakan akal untuk bertadabbur, mamahami pesan-pesan-Nya disetiap sisi
peristiwa.
Sepenuh hati. Bernafas
lega. Sepenuh cinta.
A.Zailani
Sumber gambar : http://itriafkasari.wordpress.com/2011/02/12/sistem-pergaulan-islam/
Sumber gambar : http://itriafkasari.wordpress.com/2011/02/12/sistem-pergaulan-islam/
No comments:
Post a Comment