Thursday, October 10, 2013

Berfikir Jernih, Lalu memilih





Merahnya mentari belum terlihat. Namun hawa sejuk bumi telah lama menyapa hangat. Sekitar pertengahan tahun 2013 lalu, seusai sholat shubuh saya berangkat  ke kota Malang bersama seorang teman yang sholih. Saat mau pulang saya diajak mampir kerumah kakaknya di daerah Pesantren tua yang sangat terkenal di Jawa timur, bahkan Indonesia, Pondok Pesantren Lirboyo. Disana suasana yang sejuk begitu terasa. Setelah sampai di rumah kakaknya, nampaknya beliau paham bahwa saya suka Tebu. Ya, disana ada pohon tebu yang subur, dan banyak. Lalu dibawalah saya mendekati pohon tebu. Waktu itu sedang teriknya panas tengah hari, sehingga ingin rasanya untuk menikmati tebu itu.
“Alhamdulillah, Segar” tak terasa sudah habis hampir satu batang. Kenyang. Melihat potongan pucuk tebu yang saya nikmati tadi tergeletak diam, muncullah ide untuk membawanya pulang ke Surabaya, untuk di tanam kembali. Ternyata tuan rumah mempersilahkan, “sekalian aja nebang lagi, jadi nanti sebagian ditanam dan sebagian bisa dinikmati saat tiba di Surabaya” begitu kurang lebih himbaun tuan rumah penuh senyuman. Alhamdulillah, rezeki nomplok.
Setelah sampai di Surabaya, gak pake lama tebu yang saya bawa segera saya tanam. Sekitar 4 sampai 6 tempat tebu telah tertanam di belakang tempat saya tinggal. Lalu, saya biarkan hingga iya tumbuh dan berkembang. Semoga saja subur dan bermanfaat.
Setelah kurang lebih 3 bulan, tebu-tebu itu mulai kelihatan perkembangannya. Ada yang sukses subur, ada yang setengah subur, ada yang setengah mati, bahkan ada yang mati. Hmm.
Ada apa ini? mengapa bisa begitu?
Setelah saya amati, ternyata tebu yang subur dan berkembang biak menjadi beberapa batang itu berada pada tanah yang sering teraliri air dari tempat cuci piring, jadi tanah disitu selalu basah, dingin dan segar. Sedangkan di tempat yang lainnya agak jauh dari air, sehingga hidupnya pun merana atau galau menurut bahasa sebagian manusia. Tanahnya lebih sering kering daripada basahnya. Sehingga kurang baik untuk proses pertumbuhan si tebu. Maka  pantaslah jika ia hidup setengah mati. Hampir mati. Bahkan ada yang sudah lebih parah lagi, almarhum. Selain jarang kena air, memang tanahnya disitu semi pasir. Jadi saat kena air, basahnya tidak bertahan lama. ia cepat kering dan panas. Sehingga pohon tebu tak sanggup bertahan hidup.
Hmm.. Apa manfaat cerita ini saya ungkap kepada orang-orang yang saya cintai seperti Anda?
Pikirkan saja sendiri. (Ups! Keceplosan, Afwan.)
Begini, belajar dari pengalaman sang tebu, sebagai manusia saya akan memilih tempat yang bisa membuat saya lebih hidup, bukan sekedar hidup. Semisal tebu tadi, adalah harus memilih tanah yang terdapat  banyak air dan nyaman untuk hidup. Supaya hidup subur (tanpa eyang).
Sebagai manusia, yang Allah telah mengaruniakan akal , saya harus sungguh-sungguh mengkondisikan hidup diantara lingkungan yang memang layak untuk mengembangkan potensi dan mendukung cita-cita saya. Dengan begitu saya akan lebih mudah menggapai cita-cita. Laksana tebu yang segar itu tersebab tanah yang subur dan air yang ia butuhkan pun sangat mendukung. Sehingga potensi untuk hidup dan berkembang menjadi optimal. Beranak pinak. Regenerasinya juga semakin mantap. Itu tebu, bagaimana dengan kita?
Kawan, Jangan salah memilih pergaulan. Baik teman, lingkungan,  ataupun komunitas. Berfikirlah sejernih mungkin, lalu dengan kebeningan hati pilihlah pergaulan yang membuatmu semakin dekat dengan Allah, penuh cinta.
 Pergaulan lah yang amat kuat mempengaruhi hidup seseorang. Memang tidak semua orang mudah terpengaruh, namun hal inilah yang umum terjadi. Banyak orang baik menjadi kurang baik dikarenakan lingkungan pergaulannya. Sehingga salah memilih pergaulan, laksana tebu yang memasuki tanah gersang. Cepet mati. Banyak temen-temen saya yang seperti ini. Dan soal ini gak perlu diceritain juga kan, takut ntar dia baca lalu tersinggung. Hehe. Yang penting kita doakan, semoga semuanya menjadi pelajaran dan berhikmah. Oh ya, Atau jangan-jangan dulu saya juga sama, menjadi korban pergaulan. Baarangkali seperti itu, (tapi itu dulu, sekarang semoga tidak. Doakan J ). Yang jelas, hati-hati dengan teman bergaul. WASPADALAH!
Sangat beda jika kita bisa memilih lingkungan yang tepat, lingkungan yang baik. Bisa saling mengingatkan, saling menolong, saling berbagi, dan lain-lain. Termasuk kita menjadi terdorong semakin baik dan enggan bermaksiat adalah bukti baiknya suatu komunitas. Maka pilihlah komunitas seperti itu, yang membawa perubahan kearah yang lebih baik. Mencari komunitas yang baik, emang ada? Banyak kok, mereka dengan ikhlas menggandeng kita, membimbing bahkan mendengar curhatan kita, sehingga potensi semakin tergali. Ide dan kreatifitas menjadi tak mati. Dengan usaha yang gigih dan atas ijin Allah hidup seperti ini semakin mudah dan cepat sukses. Segala cita-cita mudah tercapai. Begitu indah hidup ini bersama orang-orang sholih. “wong kang sholeh” senandung Opick dalam syairnya Tombo ati, “kumpulono”. Terbukti, berkumpul dengan orang sholih yang ikhlas berjuang adalah kemerdekaan hidup, penuh kebahagiaan. Bersama orang seperti mereka hidup semakin tenang. Saat kita lengah, dengan penuh cinta ia akan ingatkan kita.
“jika kamu ingin menilai seseorang” begitu Sang Nabi bersabda, “maka lihatlah teman bergaulnya”.
Semoga Allah selalu membimbing kita menjadi orang yang selalu jernih dalam berfikir dan memilih. Termasuk memikirkan pilihan terbaik terhadap komunitas dan pergaulan hidup (juga termasuk memilih si dia, teman hidup. Uhuk!). Melalui tebu, Allah telah mengajari kita untuk berfikir dan menggunakan akal untuk bertadabbur, mamahami pesan-pesan-Nya disetiap sisi peristiwa.

Sepenuh hati. Bernafas lega. Sepenuh cinta.
A.Zailani



Sumber gambar : http://itriafkasari.wordpress.com/2011/02/12/sistem-pergaulan-islam/

No comments: