Saat kita mencintai sesuatu,
betapa senangnya jika bisa melakukan yang terbaik untuknya. Semakin tinggi rasa
cinta kita, semakin tinggi pula usaha kita untuk mempersembahkan yang terbaik. Inilah
bukti cinta.
Misssssal
niih, sewaktu
kecil dulu kita dipinjemin sepeda oleh teman, kita akan berhati-hati saat
memakainya, juga kita akan menjaga sepeda tersebut selama kita bawa. Lalu keesokan
harinya kakak membeli sepeda baru, dan kita dipersilahkan memakai sepeda baru
tersebut, maka dengan senang hati kita memakainya. Tapi kali ini lebih
hati-hati daripada perlakuan kita kepada pinjeman sepeda sebelumnya (sepeda
yang ini kan masih cling, kalo ntar lecet bahaya. hehe). Eh, tidak disangka, beberapa
hari kemudian kita dibeliin sepeda baru oleh ayah. Maka sangat bisa dipastikan,
karena senang kita akan jauh lebih hati-hati memakainya. Gak cuma itu, malahan
sering kita periksa bagian-bagian yang kotor (meski gak kotor), sering kita
poles dengan kain lap, dan lain sebagainya.
Kenapa perlakuan kita berbeda
terhadap ketiga peristiwa itu, padahal semua objeknya adalah sepeda? Ya, karena
rasa cinta itulah yang membedakan. Rasa cinta antara peristiwa pertama dan
selanjutnya sangaat berbeda. Semakin cinta, semakin ekstra pula usaha untuk
menjaganya, merawatnya dan juga memperlakukannya. Yang jelas kita ingin selalu
memastikan bahwa yang kita cintai dalam keadaan terjaga kebaikannya. Begitulah
membuktikan cinta.
Nah, begitu pula saat kita
mencintai seseorang, orang tua misalnya. Semakin kita cinta, semakin kita
sayang dengan orang tua, maka kita semakin berusaha keras melakukan apa yang
mereka sukai. Seandainya ada seorang anak yang berlaku kasar dan tidak sopan
kepada orang tuanya, kemungkinan besar orang tersebut telah menipis rasa
cintanya, telah luntur kasih sayangnya. Telah terkikis pula semangat
berbaktinya. Jika begitu, semakin tipis pulalah ridho Allah menghampiri
hidupnya. Padahal Nabi berpesan, “ridho Allah tergantung ridho kedua orang
tuanya”. Nah.
Sekarang, bagaimana dengan Robb-mu? Sudahkah engkau mencintainya
sepenuh hati?
Bagaimana dengan Muhammad SAW,
sang utusan Allah, yang segala perilakunya indah untuk diikuti. Apakah kita sudah
mencintainya setulus hati? Ataukah hanya asal dan semau kita dalam mengikuti sunnah beliau?
Jika kita benar cinta Allah,
pastilah akan melakukan apa yang Allah sukai; menjalankan segala perintahNya,
meninggalkan segala yang dibenciNya. Tak ada pilihan lain.
Jika memang benar kita mencintai
sang utusan Allah, Muhammad SAW, pastilah kita berusaha keras menjalankan
segala anjurannya, segala yang dicontohkannya, segala yang disetujuinya.
Allah,
Sang Maha Mulia telah memberi rambu-rambu cara pembuktian cinta, “Katakanlah” begitu
Allah member rambu-rambu untuk kita dalam al-Quran surah al-Baqoroh:31 “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Maka siapapun yang sedang bingung
dipersimpangan jalan kehidupan, jalani rambu-rambu Allah. Inilah petunjuk yang
lurus. Pasti benar.
Bersyahadat, Melaksanakan holat, puasa,
zakat juga haji adalah contoh bukti cinta seorang hamba kepada titah suci Robb yang telah menciptakannya. Menguatkan
hubungan silaturrahim, saling sapa, saling berlomba dalam baiknya amal juga merupakan
bukti kuatnya cinta kepada Allah.
Betapa senang Allah dengan
hambaNya yang selalu khusyu’ dalam sujudnya. Betapa senang Allah mendengar
tangis rintih doa seorang hamba. Betapa rindu Allah dengan manusia yang selalu
menjaga diri dan keluarganya dari mengikuti langkah-langkah syaithon. Juga Allah akan tersenyum saat
melihat hambaNya berlinang air mata karena takut kepadaNya.
Rasul, yang dijamin telah shohih amalnya dan diampuni segala kesalahannya; yang lalu dan yang akan datang,
tetap saja ia sampai bengkak dalam mendirikan qiyamullail. Tetap semangat untuk menyebarkan kebenaran, sekalipun
pipinya yang lembut harus bersimbah darah lantaran lemparan batu si para yahudi
laknatullah. Gigi beliaupun tanggal
saat membuktikan gigihnya seorang pejuang diatas medan peperangan.
Kenapa Rasul yang maksum –segala kesalahannya diampuni
Allah- rela melakukan itu semua. Jelas-jelas ia pasti diampuni dosanya meski
tidak berjuang seperti itu. “salahkah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” begitu
sang Rasul dengan sepenuh cinta memberi tanggapan. AllahuAkbar!
Jika Rasul dengan segenap
cintanya melakukan seperti itu, sudahkah kita –yang mangaku cinta Rosul-
melakukan yang di sukai oleh beliau? Jika sudah, sip J, silahkan ditingkatkan. Jika belum, awas, jangan-jangan
selama ini kita hanya dusta. Apa yang kita ucap tak sama dengan bukti amal
nyata. Ngakunya cinta Rasul, tapi tahajjud-nya
jarang. Dluha-nya juga jarang –jangan-jangan
baru niat doing, belum pernah ngelaksanain- apalagi yang lain. Hati-hati. Dimanakah
bukti cinta kita?
Apakah
manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami
telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (al-Ankabut:2)
Kawan, kau bisa memahami sendiri
makna Firman Allah ini, “Dan sungguh,
Kami telah Menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti Mengetahui
orang-orang yang benar dan pasti Mengetahui orang-orang yang dusta”
(al-Ankabut:3). Sebuah cinta perlu bukti kan?
Jika kita sungguh dalam
mencintai, setiap saat adalah saat yang berharga untuk mempersembahkan yang
terbaik kepada yang kita cintai. Sebagaimana Rasul sepenuh hati mencintai
umatnya, maka beliau rela detik demi detiknya digunakan untuk memberikan yang
terbaik kepada seluruh umatnya. Bahkan kesenanganpun ia abaikan demi memahamkan
umat kepada kebenaran yang akan menyelamatkan, yang akan menjauhkannya dari
kesesatan. Beginilah manusia sejati membuktikan cintanya, dengan pembuktian amal
nyata. Ketundukan kita kepada Allah dan segala ibadah kita kepadaNya adalah
bukti cinta kita kepadanya. Tak ada yang lebih indah kecuali membuktikan cinta.
Cinta kepada Allah dan RosulNya adalah stinggi-tingginya cinta; Wajib yang
tertinggi. Juga saat kita mencintai sesuatu selain Allah, mari kita niatkan
karena Allah. Sehingga tak ada alasa untuk bermaksiat kepada Allah, tak ada
kesempatan untuk melanggar aturan Allah. Meski sedetik. Meski setitik debu.
Mulai saat ini harus dipastikan
bahwa semuanya diatas ridho Allah. Tidak boleh bertentangan denganNya.
Selamanya. Tak ada yang berhak meninggikan cinta kecuali karenaNya. Dan
pembuktiannya harus sepenuh hati. Sepenuh cinta.
Buktikan.
No comments:
Post a Comment