Tentang
Ibnu Taimiyah, Salim A. Fillah menuliskan*, Dalam temaram cahaya
unggun yang meretih di luar jeruji jendela sempit, Ibnu Taimiyah melihat
titik-titik bening di mata para muridnya. Ia tersenyum. Kejernihan di sorot
matanya menebar, mendesak gemuruh api yang memakan kayu berkeretak. Keteduhan
itu, tatapan penuh kasih itu, seperti sapuan salju di dada mereka yang membara.
Kemudian, penjara kota Damaskus di tahun 728 H, menjadi saksi kata-katanya yang
abadi menyejarah.
”Apa
yang dilakukan musuh-musuhku kepadaku? Demi Allah, jika mereka memenjarakanku,
inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, inilah
tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.”
Tembok-tembok yang lumutnya mengering hitam, lantai yang mencium mesra wajah
sujudnya di malam dingin, dan besi-besi jeruji berkarat diam khidmat.
”Apa
yang harus kami lakukan wahai Guru?”
“Beberapa
hari ini, Sultan telah melarang penjaga memberiku pena, kertas, dan tinta.
Tolong lemparkan arang-arang itu ke dalam.. Sungguh, aku ingin menulis.” Ya,
mulai hari itu, dari arang yang menari di atas tembok saksi, salah satu karya
besarnya yang berjudul Risalatul Hamawiyah dipahatkan untuk keabadian.
Keabadian nama besar seorang Syaikhul Islam. Keabadian da’wah dan jihadnya.
Keabadian atas hasad orang-orang kerdil jiwa yang iri padanya.
Ketika
ia wafat, buku-bukunya dibakar dan dihancurkan. Muridnya, Ibnul Qayyim Al
Jauziyah diarak keliling kota, terikat di atas gerobak sampah. Anak-anak kecil
berlarian seiring ejek tawa para dewasa, mengolok, meludahi, dan melemparinya
dengan buah busuk. Hari ini, dalam katalog hampir semua perpustakaan orang
menjumpai nama Ibnu Taimiyah. Atau di toko buku. Ada. Selalu ada.
No comments:
Post a Comment